Berdasarkan
ajaran agama Islam, manusia memiliki dua dimensi jasmani dan rohani, di
mana sikap lalai terhadap salah satu dari dimensi itu akan mencegah
manusia mencapai kesempurnaan hakiki. Kesempurnaan manusia terletak pada
terciptanya hubungan yang proporsional dan simetris antara semua
kapasitas dan kemampuannya, serta tidak boleh berat sebelah. Di dalam
al-Quran, ada banyak ayat yang memperkenalkan sikap terbuai dengan
materi dan kelalaian terhadap Tuhan sebagai faktor kehancuran dan
kesengsaraan. Tentu saja, Islam juga memperhatikan kebutuhan-kebutuhan
materi manusia, Islam melarang sikap kesufi-sufian dan mengabaikan
kenikmatan-kenikmatan dunia.
Usaha mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan sudah menjadi keprihatinan
utama manusia sejak permulaan sejarah. Penelitian tentang kondisi
kehidupan masyarakat modern menunjukkan bahwa manusia masih terus
berkelimpungan di antara tumpukan pengetahuan dan pengalamannya. Waktu
terus berjalan dan sains dan teknologi semakin maju dan mampu menembus
dunia mikroba hingga planet-planet yang tersebar jauh dari bumi. Sikap
antusias dan daya tarik manusia untuk menyelami alam penciptaan telah
mengukir sejumlah prestasi luar biasa. Tujuan dari semua upaya itu
adalah untuk mengantarkan manusia pada ketenangan, kedamaian, dan
kesejahteraan. Akan tetapi, hampir semua capaian itu tampaknya
memberikan hasil berbalik.
Saat
ini manusia menikmati banyak sarana kesejahteraan, tapi ketenangan
mereka justru semakin terkikis. Para pakar semakin banyak, tapi problema
yang dihadapi manusia juga kian kompleks. Gaya hidup mereka mengarah
pada konsumerisme, tapi kepuasan semakin berkurang. Manusia terbang ke
luar angkasa dan kembali lagi ke bumi, tapi mereka gagal menciptakan
hubungan yang bersahabat dengan orang-orang terdekatnya. Manusia telah
menaklukkan alam, tapi mereka masih asing dengan dirinya sendiri.
Kemanusiaan adalah kata yang tersebar luas di buku-buku ilmiah,
sementara hak asasi manusia adalah sebuah frasa untuk menghiasi resolusi
dan konvensi internasional. Dengan semua kemajuan itu, manusia dan
kemanusiaan masih menjadi korban terbesar era modern.
Para pakar ilmu humanistik di Barat – yang menganggap manusia modern
tidak butuh agama dan Tuhan – telah memposisikan manusia sebagai Tuhan
dan dengan menelurkan teori-teori humanisme di bidang etika, ekonomi,
sosiologi, psikologi, dan lain-lain, mereka berusaha menciptakan sebuah
zona aman bagi manusia-manusia modern yang tanpa pelindung. Akan tetapi
di bawah teori humanisme, manusia bukan hanya tidak mencapai ketenangan
dan kedamaian, tapi perang terburuk, konflik berdarah, dan
tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya justru terjadi di era modern.
Semua bentuk krisis spiritual dan moral sudah mengisolasi manusia
modern. Bahkan "krisis kemanusiaan" tampak lebih dominan di antara
krisis-krisis lain di tengah kemajuan dunia.
Mengapa manusia bisa terjebak ke dalam krisis tersebut dan dimana letak
akar problema itu? Pada dasarnya, selama masih ada pertentangan antara
kebutuhan hakiki manusia dan kebutuhan-kebutuhan semu mereka, maka
selama itu pula akan ada krisis. Manusia adalah makhluk dua dimensi, ia
memiliki sebuah sisi kemanusiaan dan sisi spiritual, sementara dimensi
lainnya adalah sisi material dan kebutuhan untuk memenuhi
tuntutan-tuntutan materi. Perhatian berlebihan terhadap dimensi materi
manusia dan kelalaian terhadap dimensi spiritual telah merusak
keseimbangan dalam diri manusia dan masyarakat. Tokoh intelektual Iran,
Syahid Murtadha Mutahhari menyamakan kondisi itu seperti pertumbuhan
abnormal salah satu dari organ tubuh manusia, di mana salah satu organ
tumbuh berkembang, sementara organ lainnya berhenti tumbuh.
Selama beberapa abad lalu, Liberalisme Barat mengambil jalan pintas
untuk menyingkirkan agama dan mematerialisasi seluruh dimensi ketuhanan
keberadaan manusia serta meminggirkan nilai-nilai sakralitas. Mereka
telah benar-benar menyingkirkan agama dan Tuhan dari kehidupan. Paham
tersebut secara memalukan mengumumkan berakhirnya usia agama dan
spiritualitas keagamaan. Dan dalam kondisi ideal, moralitas sudah cukup
untuk menata kehidupan manusia, sebuah moralitas di mana ajaran-ajaran
agama tidak berperan di dalamnya.
Berkenaan dengan pengaruh pemikiran materialistik terhadap
perilaku-perilaku akhlak manusia dan ketidakmampuan sains membahagiakan
mereka, Syahid Mutahhari mengatakan, "… manusia dalam pandangan dunia (world view)
sudah menafikan Tuhan, sementara mengenai manusia, mereka sudah
menafikan ruh. Mereka memperkenalkan manusia sebagai sebuah mesin
ekonomi, kemudian mereka ingin menciptakan sebuah ide sosial yang
sakral, namun gagal. Hal seperti itu tidak akan terwujud. 'Mereka
berkata kepada manusia bahwa di alam tidak ada Tuhan, dalam diri Anda
juga tidak ada sesuatu yang bersifat suci. Tapi, Anda harus berkomitmen
untuk bekerja untuk ide-ide sosial yang sakral, Anda harus berkomitmen
untuk tidak serakah dan tamak, tidak menindas, dan pemerintah harus
peduli dengan kondisi orang lain.' Jelas bahwa ini adalah dua hal yang
saling bertentangan. Pandangan dunia itu dan pengenalan manusia
bertentangan dengan ide sosial tersebut."
Kesimpulan dari penjelasan Syahid Mutahhari adalah bahwa menurut
kosmologi materialisme, manusia tidak akan sampai pada nilai-nilai
kemanusiaan. Sebab, kemanusiaan berlandaskan pada sekumpulan sifat,
moralitas, dan spiritualitas, di mana manusia akan dianggap manusia
dengan memilikinya serta menemukan nilai dan kepribadiannya. Hal-hal
tersebut tidak bisa dijustifikasi dengan pemikiran materialistik.
Jelas bahwa sebagian dari krisis manusia modern kembali kepada
keterasingan mereka tentang esensinya, kebutuhan-kebutuhan hakiki, dan
tujuan penciptaan. Manusia yang terisolasi di alam materi memiliki
kemampuan pengenalan yang terbatas. Oleh karena itu, mereka – yang telah
meminggirkan agama – terjebak dalam perilaku ifrat dan tafrit
(ekstrim kanan dan ekstrim kiri) dalam mengenal manusia dan
kebutuhan-kebutuhan hakiki mereka. Masyarakat Barat menghadapi krisis
setelah mereka memprioritaskan dimensi materi manusia dari dimensi
spiritualnya serta menistakan nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan ketika
mereka sadar bahwa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya, mereka akan
menempuh jalan yang salah karena mereka telah menolak ajaran-ajaran
agama. Mereka terjebak dalam sebuah ritual yang sebenarnya kosong dari
nilai-nilai spiritualitas. Allah Swt dalam surat al-Hashr ayat 19
berfirman, "Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada
Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka
itulah orang-orang yang fasik." Dalam surat Thaha ayat 124 disebutkan, "Dan
barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat
dalam keadaan buta."
Penghidupan yang sempit dalam ayat tersebut tidak berarti kemiskinan
dan kefakiran, betapa banyak manusia beriman yang miskin harta benda,
tapi mereka hidup bahagia karena pengenalan pada diri sendiri dan juga
pengenalan pada Tuhan. Dan betapa banyak orang-orang yang kaya, namun
mereka hidup gelisah karena telah berpaling dari Tuhan dan larut dalam
hal-hal yang semu.
Perspektif
agama tentang esensi manusia serta awal dan akhir kehidupan ini berbeda
dengan pandangan materialisme. Dalam pandangan itu, kehidupan materi di
dunia ini hanya mukaddimah untuk kehidupan abadi manusia di alam
akhirat. Kebahagiaan dan kesengsaraan abadi manusia sepenuhnya
berhubungan dengan amal perbuatan dan keyakinannya di dunia ini. Manusia
adalah makhluk yang paling mulia dan khalifah Tuhan di muka bumi, di
mana ia harus menjadi manifestasi dari sifat-sifat Sang Pencipta, dan
realisasi hal itu, sangat bergantung pada upaya setiap individu untuk
mensucikan dirinya melalui penghambaan dan menjalankan perintah-perintah
agama.
Islam
senantiasa mengajak manusia pada pengenalan diri. Rasulullah Saw
bersabda, "Barang siapa yang telah mengenal dirinya, maka ia telah
mengenal Tuhannya." Dalam riwayat-riwayat lain, pengenalan diri disebut
sebagai makrifat tertinggi, sementara keterasingan terhadap diri sendiri
sebagai kebodohan terbesar. Ketika manusia sudah mengenal dirinya
sendiri, akalnya akan berkata bahwa ada Dzat yang maha bijaksana di mana
telah menciptakan manusia untuk sebuah tujuan luhur yaitu, mendekatkan
diri kepada Tuhan dan meraih kebahagiaan abadi. Jalan untuk mencapai
kebahagiaan itu juga melalui hujjah batin yaitu akal, dan hujjah lahir
yaitu para nabi. Oleh sebab itu, manusia tidak dibiarkan tanpa petunjuk
di dunia ini. (IRIB Indonesia/RM)
Komentar
Posting Komentar